pemakaian
kutang/bra dimulai sejak abad ke-3 ketika para perempuan Romawi
membebatkan semacam perban untuk membungkus dada mereka saat
berolahraga.
Cikal-bakal
bra seperti yang kita kenal sekarang diluncurkan kali pertama di
Paris, Prancis, pada 1889. Desain bra modern itu dibuat oleh seorang
pengusaha pakaian bernama Herminie Cardolle. Bentuknya masih menyerupai
korset, pendahulu bra. Bedanya, Cardolle membagi pakaian dalam
perempuan itu menjadi dua bagian, perut dan dada. Brassiere yang
merupakan akar kata dari bra kali pertama digunakan oleh majalah Vogue
pada 1907.
Meski
cikal-bakalnya sudah ada, perempuan di masa itu lebih memilih
mengenakan korset. Kebiasaan ini sempat hilang ketika Perang Dunia I.
Pasalnya, industri militer negara-negara yang terlibat perang,
membutuhkan banyak logam untuk memproduksi peralatan perang. Logam pada
korset harus dialih-fungsikan untuk kebutuhan yang dianggap jauh lebih
mendesak itu.
Pada
1917, Bernard Baruch, Ketua Dewan Industri Perang Amerika secara
khusus meminta para perempuan untuk meninggalkan kebiasaan mereka
mengenakan korset. Pemakaian korset pada dasarnya membahayakan
kesehatan. Meski membentuk tubuh seorang perempuan sesuai standar
kecantikan di masa itu, korset membuat susah bernapas, dan pada
beberapa kasus ekstrim menyebabkan terjadinya dislokasi organ. Tak
sulit bagi perempuan untuk meninggalkan kebiasaan yang sungguh menyiksa
tersebut. Hasilnya, sebanyak 28.000 ton logam berhasil
“dialih-fungsikan” untuk keperluan industri perang. Jumlah itu cukup
untuk membuat dua buah kapal perang besar.
Perempuan
harus menemukan alternatif untuk membungkus dada mereka. Pada saat
inilah Mary Phelps Jacob, seorang sosialita Amerika, mulai
memperkenalkan bra modern yang pertama pada 1910. Jacob bermaksud
menghadiri sebuah pesta besar dengan mengenakan sebuah gaun malam tipis
berpotongan dada rendah. Rangka korset dari tulang ikan hiu yang hendak
dikenakannya mengganggu keindahan gaun yang dipersiapkan sejak jauh
hari.
Bersama
salah seorang pelayannya, dia membuat pakaian dalam dari dua
saputangan sutra yang disatukan dengan pita merah muda. Desain ini
kemudian menjadi populer di lingkaran pergaulan Jacobs dan kemudian
dipatenkan pada 1914.
Tren
fashion kemudian bergeser dari bentuk tubuh montok (yang dimodifikasi
dengan menggunakan korset) ke bentuk tubuh kurus dengan dada rata. Gaya
yang dianggap modern saat itu adalah gaya busana perempuan yang dibuat
praktis tanpa menggunakan banyak bahan dan membuat perempuan lebih
mudah bergerak. Pergeseran tren ini diikuti kian aktifnya perempuan di
berbagai lapangan pekerjaan. Perempuan yang mengikuti fashion, yang
dianggap mencerminkan pemberontakan itu, kemudian lazim disebut flapper.
Bra
dengan bentuk modern ini kemudian mulai diproduksi secara massal pada
1920-аn. Tapi produksi masal itu belum memperhatikan ukuran individual
masing-masing perempuan.
Barulah
pada 1922 perempuan bisa mengenakan kutang dengan lebih nyaman ketika
Ida dan William Rosenthal merevolusi bentuk bra. Mereka menciptakan
ukuran baku bra yang terdiri dari lingkar linear rusuk dan ukuran volume
dada (cup size) dengan menggunakan abjad (A, B, C, D, dan seterusnya).
Ukuran A sama dengan delapan ons cairan, sementara B setara dengan 13
ons, dan C sama dengan 21, dan seterusnya. Ida dan William kemudian
mendirikan perusahaan bra Maidenform yang beroleh kesuksesan luar biasa
dan menjadikan pasangan Rosenthal jutawan. Maidenform masih berdiri
hingga sekarang.
Bra
menjadi bagian dari busana sehari-hari perempuan hingga muncul
revolusi pemikiran tentang peran perempuan. Di Amerika, revolusi ini
dimulai ketika buku Feminine Mystique karya Betty Friedan terbit pada
1963. Buku itu mempertanyakan peran perempuan, yang seolah dikembalikan
ke ranah domestik oleh sistem masyarakat ketika itu.
Hal
ini berlanjut hingga 1970-аn di mana protes atas ikon-ikon yang
dianggap mengekang perempuan dipertanyakan oleh kaum feminis. Germaine
Greer, salah seorang feminis intelektual, menyatakan bahwa, “Bra adalah
sebuah ciptaan yang menggelikan.”
Sebagai
dukungan atas pemikiran itu, banyak perempuan memutuskan untuk tak
lagi mengenakan bra. Sedikit banyak hal ini cukup memukul industri bra.
Ida Rosenthal, sang industrialis pakaian dalam, hanya menjawab dengan
santai, “Kita adalah sebuah demokrasi. Sah-sah saja kalau orang
berpakaian atau telanjang. Tapi setelah usia 35, bentuk tubuh perempuan
tak mendukungnya untuk tidak mengenakan bra. Waktu berpihak kepada
saya.” Belakangan kata-kata Ida itu terbukti ada benarnya.
Meski
sempat mengalami hambatan, industri bra terus berkembang. Apalagi
ketika Madonna mengenakan sebuah kostum bra yang meruncing di bagian
dada. Kostum itu dibuatkan khusus oleh perancang Prancis Jean-Paul
Gaultier untuk tur Blonde Ambition pada 1990.
Pada
awal abad ke-19, menutup dada belum jadi kelaziman di Indonesia.
Kebiasaan mengenakan kutang diperkenalkan Belanda. Dalam novelnya,
Pangeran Diponegoro, Remy Sylado menjelaskan asal-muasal istilah kutang.
Saat
itu, dalam proyek pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan, Belanda
mempekerjakan budak perempuan dan laki-laki. Don Lopez, seorang pejabat
Belanda, melihat budak perempuan bertelanjang dada. Dia kemudian
memotong secarik kain putih dan memberikannya kepada salah seorang di
antara mereka sembari berkata dalam bahasa Prancis: “tutup bagian yang
berharga (coutant) itu.” Berkali-kali dia mengatakan “coutant.. coutant”
yang kemudian terdengar sebagai kutang oleh para pekerja.
Di
berbagai negara bra/BH disebut dengan cara berbeda-beda. Di Prancis
penahan dada itu disebut soutien-gorge (penopang tenggorokan), di
Spanyol sujetar (menopang). Di Jerman bustenhalter, di Swedia
bysthallare, dan di Belanda bustehouder–semuanya berarti penopang dada.
Sementara dalam bahasa Esperanto (Rusia) bra disebut mamzono yang
artinya sabuk dada.
Sumber : http://www.terbaikindonesia.com/2011/02/sejarah-asal-muasal-bra-atau-kutang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar